Sunday, 8 June 2014

Makalah Upaya Pemberantasan Korupsi

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA KELOMPOK 1 Nur amaliah Adzhar arsyad Nur insani haris Ayu rendri utari Resnawati kongkolu JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alam yang tersedia, namun di lihat secara nyata, rakyat Indonesia banyak yang menderita. Penderitaan ini seperti: kemiskinan, kelaparan, dan kesengsaraan. Penderitaan yang di jalani rakyat tidak lain dan tidak bukan adalah dampak dari otonomi daerah yang kurang tersruktur. Hal ini di karenakan rendahnya moral – moral para pejabat yang memegang kekuasaan di Indonesia. Rendahnya moral para pejabat yang ada di Indonesia menyebabkan Indonesia menempati rangking ke-3 dalam Negara terkorub di dunia. Hal ini sangat mencoreng nama bangsa Indonesia sebagai Negara yang memiliki kekayaan lebih. Di era reformasi sekarang ini, Indonesia mengalami banyak perubahan. Perubahan sistem politik, reformasi ekonomi, sampai reformasi birokrasi menjadi agenda utama di negeri ini. Yang paling sering dikumandangkan adalah masalah reformasi birokrasi yang menyangkut masalah-masalah pegawai pemerintah yang dinilai korup dan sarat dengan nepotisme. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan harapan dapat menghilangkan budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling sering terjadi di dalam instansi pemerintah. Reformasi birokrasi ini pada umumnya diterjemahkan oleh instansi-instansi pemerintah sebagai perbaikan kembali sistem remunerasi pegawai. Anggapan umum yang sering muncul adalah dengan perbaikan sistem penggajian atau remunerasi, maka aparatur pemerintah tidak akan lagi melakukan korupsi karena dianggap penghasilannya sudah mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan untuk masa depannya. Namun pada kenyataannya, tindakan korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai pemerintah dapat dinilai tinggi. Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat pemerintah terus terjadi sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah.Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Saat ini, korupsi di Indonesia sudah mencapai puncaknya, setiap pejabat tinggi yang di periksa, pasti terlibat korupsi. Jika hal ini tidak di tanggapi dengan serius maka Negara Indonesia tidak akan mencapai puncak emas seperti yang di cita–citakan dalam penukaan undang-undang dasar 1945. Permasalahannya adalah,apakah korupsi di Indonesia dapat teratasi. Maka dengan penyusunan makalah ini, kami akan mengungkap hal – hal yang berkaitan dengan korupsi yang ada di Indonesia beserta strategi yang dapat oleh negara dijalankan untuk memberantas korupsi. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan dipecahkan adalah sebagai berikut: 1. Apakah latar belakang/ akar penyebab sehingga seseorang melakukan korupsi ? 2. Apakah dampak bagi masyarakat akibat tindakan korupsi ? 3. Bagaimana strategi pemberantasan korupsi ? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui latarbelakang sehingga seseorang melakukan korupsi. 2. Untuk mengetahui dampak bagi masyarakat akibat tindakan korupsi 3. Untuk mengetahui strategi yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. D. Manfaat Penulisan 1. Praktis ........................ 2. Toeritis ........................ BAB II PEMBAHASAN Korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni : 1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara 2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap 3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan 4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan 5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang 6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan 7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi A. Korupsi dan Kekuasaan Korupsi pernah menjadi bahan perdebatan yang cukup hangat dalam sejarah Indonesia. Hal itu bermula dari pernyataan Furnivall,s ebagaimana dikemukakan oleh Smith (Lubis dan Scott, 1990), yang menyatakan bahwa Indonesia di masa kolonial sama sekali bebas dari korupsi. Jika kemudian korupsi cenderung berkembang menjadi penyakit endemik dalam struktur ekonomi dan politik Indonesia, setidak-tidaknya menurut sejumlah kalangan, maka kesalahan terutama harus ditimpakan terhadap pemerintahan pendudukan Jepang.Tetapi pendapat seperti itu dibantah dengan tegas oleh Smith. Mengutip Day, Smith mengemukakan sejumlah contoh yang mengungkapkan cukup meluasnya tindakan korupsi di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Penyebab utamanya adalah gaji yang sangat rendah.Karena menerima gaji yang sangat rendah, orang-orang yang bekerja pada kompeni Belanda sangat mudah tergoda untuk menerima imbalan tambahan dari organisasi-organisasi pribumi yang lemah. Hanya saja, karena banyakdari bentuk-bentuk korupsi yang terjadi ketika itu berlangsung dengan modus operandi yang belum dikenal sebelumnya, ia cenderung mendapat nama yang cukup sopan dan dipandang sebagai perbuatan legal. Berbagai bentuk korupsi yang telah berlangsung sejak sebelum tahun 1800-an itu, cenderung semakin meluas setelah terjadinya peralihan kekuasaan ke tangan gubernur jenderal Belanda. Penyebabnya adalahRevrisond Baswir“Dinamika Korupsi di Indonesia: Dalam Perspektif Struktural”27terjadinya perubahan metode pembayaran terhadap para aristokrat pribumi.Pembayaran terhadap aristokrat pribumi ini, yang oleh kompeni dilakukandengan memberikan upeti, oleh gubernur jendral Belanda diganti dengan memberi gaji.Akibatnya, para aristokrat pribumi tersebut terpaksa menggunakan cara-cara yang tidak sah jika mereka ingin mempertahankan taraf hidup yang sudah menjadi kebiasaan mereka.Perluasan pengertian korupsi secara besar-besaran terjadi setelahIndonesia memasuki periode merdeka.Dengan beralihnya kekuasaan daripenguasa kolonial ke tangan pemerintah Indonesia, tuntutan masyarakat terhadap penggunaan kekayaan negara secara benar cenderung meningkat.Pemakaian secara pribadi kekayaan negara oleh para pejabat negara akanserta merta dipandang sebagai tindakan korupsi. Sebagaimana dikemukakan Wertheim, tindakan yang sebelumnya dipandang sebagai tindakan normal, kini dipandang secara lebih kritis. Pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut adalah: 1. Pertama, korupsi pada dasarnya berkaitan dengan perilaku kekuasaan. Mengutip Lord Acton, kekuasaan memang cenderung untuk korup. Kekuasaan yang berkuasa secara absolut, akan korup secara absolut pula. 2. Kedua, korupsi sangat erat kaitannya dengan perkembangan sikap kritis masyarakat. Semakin berkembang sikap kritis masyarakat, maka korupsi akan cenderung dipandang sebagai fenomena yang semakin meluas. Berdasarkan kedua hal tersebut, tragedi yang dialami oleh pemerintahan Orde Baru sesungguhnya dapat ditafsirkan secara mudah. Sebagaimana diketahui, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun tersebut, terutama menopang kekuasaannya dengan dukungan militer. Dengan sifat seperti itu, pemerintahan Orde Baru sesungguhnya tidak hanya telah memerintah terlalu lama, tetapi cenderung berkuasa secara otoriter.Masa berkuasa secara otoriter yang terlalu lama itu, telah menyebabkan semakin jauhnya pemerintahan Orde Baru teralienasi dari Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1, September 2002: 25-3428 aspirasi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pada mulanya, sikap kritis masyarakat terhadap tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Orde Baru, dapat direpresi dengan mengendalikan media massa. Tetapi, sebagaimana terbukti kemudian, tindakan seperti itu sama sekali tidak menolong. Sikap kritis masyarakat terhadap meluasnya tindakan korupsiyang dilakukan oleh para pejabat Orde Baru, terus bertahan hidup seperti apidalam sekam. Dengan latar belakang seperti itu, krisis ekonomi yang melandaIndonesia pada penghujung 1997 dan awal 1998, sesungguhnya tidak lebihdari sekedar momentum sejarah yang menyebabkan meledaknya kemarahan masyarakat. Secara simbolik, kemarahan masyarakat memangtertuju kepada Soeharto dan militer. Tetapi penyingkiran Soeharto danmiliter dari gelanggang kekuasaan, sama sekali tidak akan mengurangi sikapkritis masyarakat terhadap perilaku kekuasaan. Sikap kritis masyarakat terhadap perilaku kekuasaan pasca kejatuhan Soeharto, sudah sangat berbeda dari masa sebelumnya. Bila demikian halnya, sangat wajar bila pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid sangat cepat terjerembab ke dalam tuduhan melakukan korupsi. Ini bukan soal volume korupsi. Bukan juga soal pembuktian tindakan tersebut secara hukum.Secara struktural, persoalan yang dihadapi oleh pemerintahan Presiden Wahid adalah persoalan hokum besi sejarah. Artinya, terlepas dari semakin meluas atau tidaknya praktik korupsi di Indonesia, setiap penguasa baru Indonesia harus berhadapan dengan hukum besi meningkatnya sikap kritis masyarakat terhadap perilaku kekuasaan. B. Latar Belakang Seseorang Melakukan Korupsi Latar belakang atau akar penyebab sehingga seseorang melakukan korupsi ada empat yaitu: 1. Greed Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Punya satu gunung emas, berhasrat punya gunung emas yang lain. Punya harta segudang, ingin punya pulau pribadi. 2. Opportunity Opportunity terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi. Sistem pengendalian tak rapi, yang memungkinkan seseorang bekerja asal-asalan. Mudah timbul penyimpangan. Saat bersamaan, sistem pengawasan tak ketat. Orang gampang memanipulasi angka. Bebas berlaku curang. Peluang korupsi menganga lebar. 3. Need Need berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak pernah usai. 4. Exposes Exposes berkaitan dengan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah. Hukuman yang tidak membuat jera sang pelaku maupun orang lain. Deterrence effect yang minim. Empat akar masalah diatas merupakan halangan besar pemberantasan korupsi. Tapi, dari keempat akar persoalan korupsi tadi, menurut saya, pusat segalanya adalah sikap rakus dan serakah. Sistem yang bobrok belum tentu membuat orang korupsi. Kebutuhan yang mendesak tak serta-merta mendorong orang korupsi. Hukuman yang rendah bagi pelaku korupsi belum tentu membikin orang lain terinspirasi ikut korupsi. Singkatnya, perilaku koruptif memiliki motivasi dasar sifat serakah yang akut. Adanya sifat rakus dan tamak tiada tara. Selain itu disebabka karena lemahnya iman dan kurang memahami agamanya dengan baik. Korupsi, menyebabkan ada orang yang berlimpah, ada yang terkuras, ada yang jaya, ada yang terhina, ada yang mengikis, ada yang habis. Korupsi paralel dengan sikap serakah. C. Dampak bagi masyarakat akibat tindakan korupsi Beberapa dampak bagi masyarakat akibat tindakan korupsi adalah sebagai berikut: 1. Kesejahteraan umum Negara menjadi tergganggu Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka. 2. Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan nvestasi. Baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria yang mencapai angka 25 persen. Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa. Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen GDP dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya setiap tahun juga akibat korupsi.Menurut Mauro (2002),Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, GDP per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empirik terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004. Menurut Gupta et al (1998). Menyatakan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen. Ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. 3. Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi. 4. Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak Baik individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul khauf (pakaian ketakutan). Fakta bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya. 5. Mempersulit Pembangunan Ekonomi Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan. 6. Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi. D. Strategi Pemberantasan Korupsi Pemberantasan korupsi telah menjadi salah satu fokus utama Pemerintah Indonesia pasca reformasi. Berbagai upaya telah ditempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas tindak pidana korupsi (tipikor) secara serentak oleh pemegang kekuasaan eksekutif ( melalui pemerintah pusat pemerintahan maupun pemerintahan daerah), legeslatif dan yudikatif. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini masih terus bergulir, walaupun berbagai strategi telah dilakukan, tetapi perbuatan korupsi masih tetap saja merebak di berbagai sektor kehidupan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, salah satu penyebabnya adalah korupsi yang telah merasuk ke seluruh lini kehidupan yang diibaratkan seperti jamur di musim penghujan, tidak saja di birokrasi atau pemerintahan tetapi juga sudah merambah ke korporasi termasuk BUMN. Pemberantasan korupsi di Indonesia telah menarik perhatian dunia internasional. Indonesia, melalui Undang Undang (UU) No. 7 Tahun 2006, telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti korupsi, UNCAC 2003. Pada tahun 2011, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang dikaji oleh Negara Peserta lainnya di dalam skema UNCAC. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia diperbandingkan dengan klausul-klausul di dalam UNCAC melalui kajian analisis kesenjangan (Gap analysis study). Hasil kajiannya menunjukkan bahwa sejumlah penyesuaian perlu segera dilakukan untuk memenuhi klausul-klausul di dalam UNCAC, terkhusus bidang kriminalisasi dan peraturan perundang-undangan. Tak kurang, Transparency International (TI) pun. setiap tahunnya menjajak pendapat masyarakat Indonesia mengenai eksistensi korupsi, terutama menyangkut kegiatan komersial, dengan mengukur Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. IPK Indonesia saat ini, kendati. mengalami peningkatan terbesar di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) hingga tahun 2011 masih terbilang rendah: 3,0 dari nilai maksimal 10. Pada tahun 2014, ditargetkan sejumlah peningkatan yang terukur, antara lain pemerintah menargetkan 5,0 untuk IPK, serta penyelesaian 100 persen rekomendasi hasil review pelaksanaan Bab III dan Bab IV UNCAC sebagai alat ukur keberhasilan pemberantasan korupsinya. Bahkan dalam jangka panjang akan disusun suatu Sistem Integritas Nasional untuk melengkapi ukuran keberhasilannya. Adapun strategi nasional yang bisa dilakukan dalam rangka memberantas korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan upaya-upaya pencegahan.; 2. Melaksanakan langkah-langkah strategis di bidang penegakan hokum; 3. Melaksanakan upaya-upaya harmonisasi penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi dan sektor terkait lain; 4. Melaksanakan kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tipikor; 5. Meningkatkan upaya pendidikan dan budaya anti korupsi; dan 6. Meningkatkan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi. 1. Strategi 1: Pencegahan Berbagai pendekatan pemberantasan korupsi yang telah dijalankan Pemerintah Indonesia, seperti diketahui, lebih cenderung ke arah represif . Hal ini juga yang merupakan paradigma yang berkembang di masyarakat bahwa pendekatan tersebut dinilai sebagai upaya yang efektif untuk menimbulkan efek jera. Dalam kenyataannya, praktik tipikor masih terjadi secara masif dan sistematis di banyak lini; di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, Badan Usaha Milik Negara lembaga jasa keuangan dan perbankan, serta di sendi- sendi lainnya dalam kehidupan masyarakat kita. Upaya pencegahan, dengan demikian, diharapkan menjadi langkah yang tepat dan membawa dampak perbaikan dimasa yang akan datang mengingat besarnya peluang kesinambungan yang dimilikinya. Masyarakat Indonesia kini sudah semakin menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Aspek kemudahan dan kecepatan dalam layanan administrative menjadi tuntutan di tengah masyarakat yang kian dinamis ini. Kendati Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sudah banyak melakukan perbaikan atau pembenahan pada pelayanan publik, tapi pada praktiknya, masyarakat masih belum merasakan manfaatnya secara optimal. Belum tuntasnya reformasi birokrasi secara menyeluruh, terutama dalam hal rightsizing business process dan sumber daya. manusia, kerap dituding sebagai masalah utamanya. Selain itu, keterbukaan informasi juga telah merupakan hak masyarakat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah. Hal ini bahkan telah dijamin oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang sampai saat ini masih perlu dilaksanakan secara menyeluruh dan berkualitas. Akses yang mudah dan efektif bagi masyarakat terhadap informasi menjadi penting. Salah satu informasi yang paling penting untuk dibuka adalah mengenai perencanaan dan realisasi anggaran, di mana saat ini amat minim proses yang dapat diikuti oleh masyarakat untuk mengawal bersihnya perencanaan dan realisasi anggaran instansi pemerintahan. Beberapa masalah lain yang juga telah ditemukan adalah: belum memadainya mekanisme pemberian reward and punishment bagi pelayanan publik, minimnya integritas, sistem karir dan penggajian yang belum sepenuhnya berbasis kinerja, serta belum tersusunnya manajemen kinerja dan standar pelayanan minimal. Masalah tersebut tidak dapat ditolerir sebagai dasar pembenar, namun merupakan realita dalam pemberian layanan publik yang masih bisa dicegah, dibenahi, dan dicarikan jalan keluarnya. Pencegahan memengaruhi persepsi publik terhadap tipikor. Hal ini dimungkinkan karena bidang-bidang pencegahan berkaitan erat dengan pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan pelaku usaha. Berbagai upaya pencegahan sebenarnya telah dilakukan, antara lain dengan meningkatkan mutu layanan perizinan, seperti yang dicontohkan beberapa daerah melalui pembentukan one stop service layanan satu atap). Namun, dalam implementasinya, persepsi masyarakat masih mencerminkan adanya kelemahan, terutama menyangkut regulasi perizinan di daerah yang eninggalkan sekian celah bagi korupsi. Demikian pula dengan peningkatan pelayanan perpajakan, masih terdapat kendala dengan belum tuntas dan terintegrasinya program single identification number (nomor identifikasi tunggal). Selain masalah perpajakan, penuntasan dan pengintegrasian program ini dipercaya akan menyelesaikan banyak pekerjaan rumah terkait pemberantasan korupsi. Hal lain yang memiliki banyak pekerjaan rumah adalah terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa yang kerap dinilai menjadi ranah basah bagi terjadinya praktik korupsi. Berbagai upaya terobosan harus dilakukan untuk meminimalisasi ruang-ruang terjadinya korupsi pada bidang-bidang tersebut. Berbagai permasalahan di atas mengisyaratkan bahwa, agar upaya pemberantasan korupsi bisa optimal dalam konteks strategi pencegahan, pelibatan sektor swasta dan masyarakat wajib dilaksanakan oleh aparat pemerintah sebagai penyedia pelayanan umum. Artinya, ketiga pilar pemberantasan korupsi (pemerintah, masyarakat dan swasta) harus secara sadar membangun komitmen bersama bagi pencegahan korupsi. 2. Strategi 2: Penegakan Hukum Permasalahan Berbagai upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia tidak serta-merta menyebabkan penurunan angka korupsi serta semakin bersihnya tata kepemerintahan dan tata kemasyarakatan dari tindak korupsi, kolusi, nepotisme. Dalam kurun lima tahun terakhir, tidak sedikit kasus korupsi yang menyangkut penyelenggara negara diproses hingga ke tingkat peradilan. Kementerian Dalam Negeri mencatat, sejak tahun 2004-2011, Presiden telah menandatangani ijin pemeriksaan tipikor setidaknya terhadap 168 (seratus enam puluh delapan) Gubernur dan Bupati/Walikota yang tersangkut perkara tipikor. Masih banyak kasus korupsi yang belum tertuntaskan meski telah menyedot perhatian khalayak luas. Penting untuk dicatat, penegakan hukum yang tidak konsisten dengan hukum positif yang berlaku berpengaruh pada melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum beserta aparaturnya. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai proses penegakan hukum, pada akhirnya, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik. Muncul kecenderungan untuk menyelesaikan konflik dengan caranya sendiri-sendiri. Pada akhirnya ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingannya sendiri, yang berdampak kepada kerugian di pihak lainnya. Absennya kepercayaan (trust) di antara masyarakat yang melahirkan ketidakpuasan terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya itu lambat-laun menguat. Hal ini, ke depannya, dapat menjadi hambatan tersendiri tatkala dilakukan upaya-upaya perbaikan dalam rangka penguatan penegakan hukum di Indonesia. Perlu dilakukan upaya percepatan penyelesaian kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat. Upaya penegakan hukum juga tidak terlepas dari perbaikan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. Penegakan hukum perlu didukung oleh kerangka regulasi yang memadai demi menjamin proses penegakan hukum bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, tidak larinya tersangka koruptor, hingga terselamatkannya aset negara yang dikorupsinya. Pengawasan terhadap lembaga, aparatur, maupun unsur-unsur profesi yang terkait penegakan hukum, juga perlu diperkuat dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat, baik selaku pelapor maupun saksi, masih belum didukung oleh keterjaminan mereka atas perlindungan hukum yang sepatutnya diterima. Mekanisme pengaduan hukum yang belum terbangun dengan baik di masyarakat, begitu pula transparansi penyelesaian kasus-kasus korupsi yang belum memuaskan khalayak luas. Faktor-faktor inilah yang kian memperburuk kondisi yang ada. Melihat kondisi seperti itu, langkah-langkah perbaikan dengan strategi yang mampu menjawab permasalahan sangat dibutuhkan agar optimalisasi penegakan hukum dapat dilakukan. Oleh karena itu, di samping upaya pencegahan korupsi, sudah selayaknya jika penegakan hukum ditempatkan sebagai pilar kedua Stranas PPK. Tujuan Penuntasan kasus tipikor secara konsisten dan sesuai hukum positif yang berlaku demi memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan. Tantangan a. Tipikor semakin marak. Tidak sedikit penyelenggara negara yang tersangkut dan diproses hingga ke tingkat peradilan. b. Absennya tingkat kepercayaan (trust) di tengah asyarakat melahirkan ketidakpuasan terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. c. Peraturan perundang-undangan masih banyak yang tumpang-tindih, padahal penegakan hukum perlu dukungan kerangka regulasi yang memadai. d. Pengawasan terhadap lembaga, aparatur, maupun unsur-unsur profesi terkait penegakan hukum, masih lemah. Partisipasi masyarakat, baik selaku pelapor maupun saksi, masih belum didukung oleh keterjaminan mereka atas perlindungan hukum yang sepatutnya diterima. Ditambah lagi, mekanisme pengaduan masyarakat juga belum memadai. 3. Strategi 3: Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Permasalahan Salah satu kendala dalam PPK, sebagaimana telah sedikit disinggung sebelumnya, terletak pada peraturan perundang-undangan yang eksistensinya masih belum memadai. Dalam artian, masih terdapat tumpang-tindih dan inkonsistensi antar peraturan perundang-undangan, serta masih terdapat peraturan-peraturan yang membuka peluang bagi berlangsungnya tipikor hingga absennya pengaturan sehingga menghambat PPK. Peraturan perundang-undangan merupakan faktor pendukung yang tidak terpisahkan dari strategi maupun rencana aksi PPK. Untuk itu, perlu dipastikan hadirnya perangkat peraturan anti korupsi yang memadai. Caranya, adalah dengan mengevaluasi, merevisi, atau melengkapi peraturan-peraturan yang sudah ada. Peraturan yang dimaksud itu bukan semata yang terkait tipikor, melainkan juga yang semangatnya adalah anti korupsi dan/atau meminimalisasi peluang bagi terjadinya tipikor. Untuk konsistensi PPK, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 melalui UU No.7 Tahun 2006. Itikad ini mengandung arti, ketentuan-ketentuan dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa ketentuan di dalamnya merupakan hal baru di Indonesia, sehingga perlu diatur atau diakomodasi lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan terkait pemberantasan korupsi. Hal ini diperlukan agar kriminalisasi perbuatan tindak pidana tertentu kelak menjadi dasar hukum yang memadai dalam rangka penegakan hukum. Hal-hal baru tersebut misalnya tentang penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik, memperdagangkan pengaruh, memperkaya secara tidak sah, atau korupsi di sektor swasta. Selain itu, negara-negara peserta UNCAC akan saling me-review dan merekomendasikan langkah-langkah perbaikan. Saat ini, review terhadap Indonesia telah dilakukan atas Bab III dan IV UNCAC. Hasil review tersebut dapat menjadi acuan perbaikan untuk kesesuaian peraturan perundang-undangan anti korupsi dengan UNCAC. Langkah-langkah akomodatif dalam penyusunan maupun revisi peraturan perundang-undangan Indonesia dalam rangka harmonisasi semacam ini perlu dilakukan agar PPK dapat terlaksana di atas landasan hukum yang memadai. Melalui strategi ini, fondasi yang kuat bagi pencegahan dan pemberantasan yang berkesinambungan atas tipikor dapat terwujud. Tujuan a. Menyusun dan merevisi peraturan perundang-undangan anti korupsi di bidang tipikor maupun di bidang strategis lain yang berpotensi membuka peluang korupsi, agar tercipta tatanan regulasi yang harmonis dan memadai bagi PPK b. Tercapainya kesesuaian antara ketentuan-ketentuan di dalam UNCAC dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tantangan a. Peraturan perundang-undangan pada sektor-sektor lain yang membuka peluang korupsi masih belum teridentifikasi secara komprehensif. b. Ketentuan-ketentuan UNCAC banyak yang masih belum terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. c. Peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum dan penanganan perkara dalam sistem peradilan harus diperbaiki dan disempurnakan. 4. Strategi 4: Kerja Sama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor Permasalahan Penanganan tipikor seringkali memerlukan kerja sama internasional. Telah terdapat berbagai contoh kasus di mana penanganan tipikor bergantung kepada hal-hal yang berada di luar batas negara, misalnya ketika tersangka, bukti atau aset hasil tipikor berada di luar negeri. Dalam hal demikian, kerja sama internasional yang melibatkan otoritas antarnegara diperlukan demi penanganan tipikor yang juga sejalan dengan ketentuan UNCAC. Kerja sama internasional dapat dilaksanakan melalui bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters atau MLA) dalam hal pencarian orang, barang bukti, dan pengembalian asset. Dalam hal pengembalian pelaku tipikor ke dalam jurisdiksi Indonesia dilakukan melalui ektradisi. Sampai saat ini, Indonesia masih menemui banyak kendala dalam melaksanakan kerja sama internasional untuk penanganan tipikor, meskipun telah memiliki berbagai perjanjian MLA dan ekstradisi. Tingkat Keberhasilan (success rate) pengembalian orang, pengambilan barang bukti, dan repatriasi aset dari luar negeri masih tergolong rendah. Beberapa permasalahan terkait dengan hal tersebut antara lain: a. Kesesuaian pelaksanaan proses hukum di dalam negeri dengan permohonan bantuan kerja sama yang dimintakan kepada negara lain yang melibatkan sistem hukum asing seringkali tidak saling sejalan. b. Koordinasi antar lembaga penegak hukum, Otoritas Pusat (Central Authority), dan lembaga terkait lainnya masih perlu ditingkatkan, dengan adanya mekanisme yang jelas dan ditepati untuk mendukung kelancaran proses kerja sama internasional. c. Kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia dari instansi terkait perlu menjadi perhatian. d. Selain itu, upaya-upaya ekstradisi dari negara lain belum menemukan titik keberhasilan dengan hambatan yang serupa. Terlebih lagi masih perlu penguatan dan penambahan perjanjian ekstradisi dengan tempat-tempat safe haven bagi pelaku tipikor. Khusus mengenai penyelamatan aset, baik di dalam maupun luar negeri, diperlukan mekanisme pencegahan pemindahan aset (transfer of assets) dan pengembaliannya dengan memperhatikan ketentuan UNCAC. Dari awal proses hukumnya, pemanfaatan intelijensi keuangan juga dirasa sangat penting sehingga aset di dalam dan luar negeri dapat dirampas jika perlu. Khusus proses pengembalian aset hasil korupsi yang berada di luar negeri dengan karakteristik hukum yang berbeda mensyaratkan primanya pengetahuan teknis dan kapasitas aparat penegak hukum yang didukung kerja sama penuh dari seluruh lembaga terkait di dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan proses pengadilan. Untuk pengembalian aset di dalam negeri, kedisiplinan eksekusi putusan pengadilan perlu dijaga agar seluruh ganti rugi dapat dipenuhi oleh terpidana tipikor. Selanjutnya adalah pengelolaan aset negara hasil tipikor, harus diakui, selama ini masih belum terlaksana secara semestinya. Perlu dijelaskan mekanisme pengelolaan dan dijadikan pembelajaran untuk mengambil kebijakan-kebijakan terkait penyelamatan aset tipikor di masa datang. Dalam hubungannya dengan UNCAC, Indonesia belum memiliki peraturan yang cukup untuk menangani permintaan bantuan dari negara lain, termasuk permintaan penyitaan/perampasan aset. Indonesia juga belum memiliki peraturan tentang pelaksanaan penyitaan (perampasan) aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Pemenuhan peraturan yang diperlukan untuk mendukung permintaan negara lain dalam kerja sama internasional terkait pemberantasan korupsi juga masih perlu diusahakan. Tujuan Meningkatkan pengembalian aset untuk mengganti kerugian negara yang ditempuh melalui peningkatan kerja sama internasional dalam rangka PPK, khususnya dengan pengajuan bantuan timbal-balik masalah pidana, peningkatan koordinasi intensif antar lembaga penegak hukum, serta peningkatan kapasitas aparat lembaga penegak hukum. Tantangan a. Masih rendahnya tingkat kesuksesan pengembalian aset, baik dari luar maupun dalam negeri dan bentuk permintaan bantuan timbal-balik masalah pidana lainnya. b. Masih rendahnya tingkat kesuksesan permintaan ekstradisi dari negara lain. c. Masih lemahnya informasi jalur keuangan untuk membuktikan keterkaitan aset hasil tipikor yang perlu dirampas oleh negara. d. Belum optimalnya koordinasi antar lembaga penegak hukum dan kapasitasnya dalam menangani kerja sama internasional, khususnya pengembalian aset. e. Mekanisme internal dalam proses pengembalian aset perlu diperbaiki agar proses pengembalian aset dapat berjalan lebih optimal. f. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain. g. Pengelolaan aset hasil pengembalian masih belum terselenggara. 5. Strategi 5: Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi Permasalahan Meskipun kejujuran merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia, namun praktik korupsi yang jelas bertentangan dengan nilai tersebut kerap terjadi. Salah satu akar penyebab berkembangnya praktik korupsi patut diduga berasal dari rendahnya integritas para pelakunya dan masih kentalnya budaya permisif terhadap tindakan korupsi. Rendahnya efek jera bagi pelaku korupsi inilah yang turut mendukung maraknya praktik korupsi. Dalam budaya organisasi modern, sistem nilai tertentu yang bersifat universal harus ditegakkan dalam organisasi, baik di lingkungan pemerintahan maupun swasta. Masyarakat dengan kultur yang mendorong struktur sosial berperilaku koruptif perlu diubah pola pikirnya agar terbebas dari nilai-nilai koruptif, terlebih lagi agar menjunjung integritas. Lebih dari itu, sangat diperlukan perilaku aktif dari masyarakat untuk mencegah perilaku koruptif di lingkungannya. Diperlukan individu-individu yang mampu memengaruhi dan bertindak untuk mencegah adanya tindakan koruptif, tidak hanya pasif untuk mencegah korupsi oleh dirinya sendiri. Pengembangan sistem nilai dan sikap anti korupsi tersebut perlu dilakukan melalui berbagai kampanye yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu kanal utamanya adalah melalui pendidikan dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan Pemerintah, swasta, masyarakat, maupun pemangku kepentingan lainnya. Jejaring pendidikan anti korupsi dan perguruan tinggi atau pusat kajian antikorupsi juga perlu dikembangkan seiring dengan perkuatan sanksi sosial. Gerakan sosial anti korupsi perlu diintegrasikan dengan nilai-nilai anti korupsi dalam sistem budaya lokal. Dengan demikian, selain tercipta pemahaman terhadap perilaku-perilaku koruptif, pembangunan karakter bangsa yang berintegritas dan anti korupsi diharapkan juga akan memperkuat gerakan anti korupsi beserta sanksi sosialnya. Tujuan Memperkuat setiap individu dalam mengambil keputusan yang etis dan berintegritas, selain juga untuk menciptakan budaya zero tolerance terhadap korupsi. Masyarakat diharapkan menjadi pelaku aktif pencegahan dan pemberantasan korupsi sehingga mampu memengaruhi keputusan yang etis dan berintegritas di lingkungannya, lebih luas dari dirinya sendiri. Tantangan a. Masih adanya sikap permisif di masyarakat terhadap pelaku tipikor; sanksi sosial bagi pelaku tipikor perlu diperkuat untuk menghasilkan efek jera. Sikap permisif tersebut juga seringkali ditunjukkan dengan pasifnya individu dalam menghadapi adanya tindakan koruptif dari individu lain di dalam lingkungannya. b. Absennya strategi komunikasi dalam pendidikan budaya anti korupsi. Hal ini ditunjukkan dengan kurang efektifnya materi maupun cara penyampaian pendidikan dan kampanye anti korupsi pada masyarakat. c. Belum terintegrasinya pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi. 6. Strategi 6: Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi Permasalahan Dengan telah meratifikasi UNCAC, Pemerintah Indonesia terikat dalam melaksanakan ketentuan sekaligus melaporkan capaian-capaiannya. Artinya, Indonesia sebagai Negara Peserta, negara yang telah menandatangani dan meratifikasi UNCAC wajib menyediakan dan memublikasikan informasi mengenai apapun program yang telah, tengah, dan akan dilaksanakan, berikut rencana dan praktiknya secara periodik dalam upaya pemberantasan korupsi. Mekanisme pelaporannya dapat dilakukan secara berjenjang dengan perkuatan sistem pelaporan internal para pihak terkait selaku pelaksana ketentuan UNCAC, dilaporkan dalam Konferensi Negara-Negara Peserta (Conference of the States Parties atau CoSP). Sayangnya, hingga kini, belum ada suatu mekanisme internal yang memudahkan tiap-tiap institusi pemerintah dan lembaga terkait dalam menyampaikan informasi (internal information gathering mechanism) menyangkut pelaksanaan ketentuan UNCAC di Indonesia. Selain itu, informasi mengenai upaya-upaya PPK secara luas juga diperlukan oleh masyarakat luas yang kian hari perhatiannya kian tinggi terhadap PPK. Saat ini, belum banyak informasi yang dipublikasikan dan digunakan untuk mendukung partisipasi masyarakat dalam PPK. Agar kelancaran proses internalisasi dan pengaliran laporannya tetap berjalan, perlu dipastikan dengan menunjuk penanggung jawab (Pj) bidang pelaporan. Pj tersebut berkewajiban untuk: (1) memastikan para pihak secara rutin melaporkan kegiatan terkait pelaksanaan ketentuan UNCAC; (2) mengonsolidasikannya ke dalam laporan pelaksanaan PPK dan ketentuan UNCAC; serta (3) memublikasikannya ke berbagai media, termasuk web-portal PPK, guna mempermudah pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK nasional. Tujuan a. Memastikan ketersediaan laporan rutin dan informasi terkait pelaksanaan ketentuan UNCAC dan kegiatan PPK di Indonesia beserta capaian-capaiannya. b. Memastikan bahwa para pihak, pelaksana ketentuan UNCAC dan aksi PPK, berkontribusi aktif melaporkan kinerja dan capaian-capaiannya yang telah, tengah, dan akan dilaksanakan secara rutin. c. Terlaporkan dan terpublikasikannya usaha-usaha yang telah, tengah, dan akan dilaksanakan pemerintah, legislatif, yudikatif, dan masyarakat, berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UNCAC dan PPK secara periodik. d. Terpenuhinya (seratus persen) semua kewajiban dalam pelaporan terkait pelaksanaan ketentuan UNCAC. Tantangan a. Informasi dan koordinasi terkait pelaksanaan PPK, kendati merupakan isu yang sering dibahas di berbagai pertemuan lintas K/L, namun minim pelaksanaan, konsistensi, dan kesinambungannya sulit terjaga. b. Pengumpulan informasi, pelaporan, dan publikasi informasi, sering tersendat akibat minimnya catatan, dokumentasi, serta kedisiplinan para pihak dalam pelaporan. c. Diperlukan penemuan format (bentuk) laporan dan publikasi yang efektif sehingga dapat digunakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam PPK, termasuk pemantauannya. d. Penunjukan Penanggung Jawab (Pj) untuk penyusunan laporan tanpa landasan hukum dan kewenangan yang cukup, sehingga kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan para pihak guna membangun komitmen untuk berbagi informasi. Tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya perlu dituangkan dalam bentuk regulasi setingkat Instruksi Presiden atau Peraturan Presiden disesuaikan dengan kecukupan dan keefektifannya dalam berkoordinasi dan mengumpulkan informasi dari para pihak terkait. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA Budiharto, 1980. Wawansan Nusantara dalam Peraturan Perundang-Undangan RI. Indonesia. Shalia. Kartasasmita, Ginanjar. 1985. Media Indonesia. Jakarta. Koentjaraningrat, 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. Murtopo, Ali. 1974. Strategi Politik Nasional. Yayasan Proklamasi. CSIS. Naisbitt, Jhon ( 1994 ). Global Peradox Augerali. Allen dan Uniwin, St Leonard Pamudji, S. 1985. Demokrasi Pancasila dan Tannas. Jakarta: Bina Aksara. Pemerintah RI, 2012. Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Sumanardin, Adi. 1982. Wawasan Nusantara. Bandung: Surya Indah.

0 comments:

Post a Comment